blogkoding cineblog scscrc123 indoblog Kartini di Tengah Hingar Bingarnya Kota Ini - diksipergerakan
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kartini di Tengah Hingar Bingarnya Kota Ini


Penulis: Fadhillatun Ni'mah

Membaca buku ibarat makanan sehari-sehari. Sama saja dengan perut kita yang lapar dan butuh makan. Begitu juga dengan otak kita yang selalu lapar tanpa kita sadari. Membaca buku termasuk kewajiban, apalagi untuk seorang mahasiswa

Rentetan buku yang pernah saya baca, namun yang paling mengena adalah buku yang menceritakan sosok wanita yang sangat kuat serta gigih. Tidak lain lagi yaitu Ibu Kartini, dengan bukunya yang berjudul “Kartini Kisah yang Hilang."

Awal sebelum membaca buku itu, batin terasa sangat penasaran, untuk segera menyelesaikan bacaan hingga akhir halaman, hingga mengetahui ending dari cerita di dalam buku ini.

Halaman demi halaman, saya baca berjam-jam, bahkan menghabisakan waktu yang cukup lama. Buku ini menceritakan mengenai seorang perempuan yang dilahirkan dari pernikahan antara bangsawan (priyayi) dengan rakyat jelata, yang bernama Nyai Ngasirah, ternyata Nyai Ngasirah bukan satu-satunya istri yang dimiliki oleh Sosroningrat.

Setelah pernikahan tersebut berlangsung, tidak selang waktu lama Nyai Ngasirah memberikan keturunan kepada Raden Mas Adipati dua anak laki-laki dan satu perempuan. Yang bernama Kartono dan Kartini.

Mereka tumbuh di lingkungan keluarga bangsawan, dan diajarkan sopan santun layaknya anak seorang bangsawan. Kartono adalah kakak dari Kartini, Ketika umurnya sudah memasuki waktu untuk sekolah, dia di sekolahkan disalah satu sekolah ternama di Jepara.

Kaum perempuan keturunan bangsawan pada zaman itu tidak ada yang mengenyam bangku pendidikan. Berbeda dengan Kartini, Ketika usianya memasuki waktu untuk sekolah, sekitar umur 6 atau 7 tahun, ia bersekolah di sekolah rendah Belanda, dia merupakan satu-satunya perempuan pertama dari kalangan ningrat yang mengeyam Pendidikan.

Ini menjadi pemicu gesrekan awal ketidaksukaan antar sesama ningrat, karena saat itu ayah Kartini adalah seorang Bupati di tanah jawa yang membiarkan anaknya sekolah.

Kartini bersekolah tidak begitu lama, karena dia harus dipingit saat berusia 12 tahun, saat itu dia harus Kembali berada di dalam ruangan yang dibatasi tembok-tembok besar untuk menjalani masa pingitan.
Hari demi hari ia lewati, di dalam kamar dengan membaca, mengaji, dan mengirim surat kepada sahabatnya. Suatu saat dia memohon kepada ayahnya agar bisa melanjutkan sekolah ke Semarang layaknya kakaknya, tapi Sosroningrat tidak memberikan izin padanya.

Srintil sapaan hangat dari ayahnya, ia harus tumbuh di dalam kotak pingitan, yang ia anggap sebagai penjara baginya. Masa remaja yang sangat ceria, harus gugur dalam angan-angannya.

Tetapi tiga hal yang membuat hatinya tidak murung, yaitu kecintaan dan perhatian ayahnya, kecintaan dan perhatian terhadap kakak kandungnya, serta kecintaan terhadap buku-buku bacaannya.

Selama 4 tahun menjalani masa pingitan, pada tahun 1898 ia merasakan kebebasan. Tepat pada usianya ke 16 tahun. Setelah dikurung dalam sangkar, Kartini bergumam pada ayahnya, ingin menjadi seorang guru untuk mengubah nasib perempuan.

Tapi lagi-lagi ayahnya, tidak mengizinkan dan memberi jawaban belum saatnya. Karena saat itu Sosroningrat juga merupakan orang yang berpengaruh, ayahnya tidak bisa melawan adat serta tradisi, karena ayahnya tak sanggup jika Kartini harus dihina oleh kaumnya sendiri.

Cinta membangkitkan balasan cinta, tetapi penghinaan selamanya tidak akan pernah menghidupkan rasa cinta. Juni 190 R.A Kartini akhirnya mampu mendirikan sekolah bagi kaum perempuan di daerah kelahirannya, namun tidak selang waktu lama sepucuk surat dari Bupati Rembang, melayang padanya, yang berisi sebuah lamaran.

Ajaibnya Kartini memberikan jawaban itu pada November 1903, dan saat itu pula dia resmi melepas masa lajangnya.  
Sebelumnya dia pernah berharap, jika menikah ingin dipertemukan dengan orang yang berpengaruh, akhirnya dia dipertemukan dengan Bupati Rembang, dengan begitu dia bisa merealisasikan Sebagian cita-citanya untuk menyediakan pengajaran bagi perempuan pribumi.

Kartini wafat di usia 25 tahun, sebelum kematiannya dia sudah mampu mendirikan sekolah bagi kaum perempuan. 
Begitu besar perjuangan salah satu tokoh feminisme ini, memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan Pendidikan, namun sekarang mengenyam Pendidikan bagi para perempuan seolah-olah diabaikan, dikesampingkan.

Padahal dulu sekolah itu merupakan hal yang begitu membanggakan, berbanding terbalik dengan sekarang. Perbanyak bersyukur bagi kalian yang bisa mengenyam Pendidikan sampai perguruan tinggi, karena maju tidaknya sebuah negara dipengaruhi oleh perempuannya.

Bangkit para kaum perempuan, kita mampu menjadi kartini di tengah hingar-bingarnya kota ini, dengan melihat kebelakang semangat serta perjuangan tokoh feminisme ini.