blogkoding cineblog scscrc123 indoblog SISWA LEBIH MIRIP BARANG PRODUKSI PABRIK , KETIMBANG MANUSIA BELAJAR. Resensi buku Sekolah Itu Candu - diksipergerakan
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SISWA LEBIH MIRIP BARANG PRODUKSI PABRIK , KETIMBANG MANUSIA BELAJAR. Resensi buku Sekolah Itu Candu

 



Siswa di Indonesia itu lebih mirip barang produksi pabrik ketimbang manusia belajar, bagaimana tidak? Coba cek isi rapot kalian disana ada standarisasi kompetensi. Mungkin kita lebih mengenalnya dengan KKM atau nilai minimum. Siswa mampu inilah, siswa mampu itulah, siswa kurang beginilah, siswa kurang begitulah, pusyinnngg.!!! Seakan siswa itu adalah barang mati yang B dia dibentuk sana sini. Kalau ada kurangnya kali ada cacatnya, bukankah proses penilaian seperti itu lebih mirip proses quality control. Alias sortir barang pabrik, barang yang tidak layak atau cacat akan dikembalikan diretur atau lain lain sebagainya. Disekolah itu disebut remidi. kalau udah di remidi barang tetap cacat akan dipermak sedemikian rupa nilai direkayasa ujung ujungnya siswa diluluskan juga. Kalau seperti itu bagaimana kekreativitasan, keotentikan siswa bisa tumbuh? Lah tolak penilaianya sudah ada standartnya. Apanya yang merdeka belajar ini namanya standarisasi belajar ! Mungkin itulah cuitan sedikit yang menggambarkan  Pendidikan di indonesia.

Propaganda yang sedari dahulu kita tidak sadari tentang sekolah. Terkadang  kita membenarkan sesuatu  yang mungkin saja salah atau menyalahkan sesuatu yang mungkin saja benar. Bisa dipastikan saat  mendengar kata sekolah yang terlitas di benak kita  adalah bangunan, gedung, dan seperangkat alat pengajaranya serta teman sebaya dengan  keseruan diwaktu kosong atau tertentu serta mendengarkan ceramah dari seorang guru dengan durasi super panjang.

         Pasti kita pernah merasakan duduk dibangku sekolah Dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA), atau mungkin juga kita sekarang sudah berstatus mahasiswa. Dengan segudang cerita kita di masa masa sekolah, yang jika ditulis akan tidak cukup jika di bandingkan dengan buku "sejarah dunia yang di sembuyikan" apalagi dalam selembar kertas yang disebut ijazah.

       Selama itu kita bersekolah, pernahkah kita mempertanyakan apakah sekolah itu?, apakah kita benar benar bersekolah? dan lebih gilanya kita mempertanyakan  apakah sekolah yang membuat kita pandai? Pertanyaan kritis itu seharusnya pernah terlontar dari mulut kita.

        Itulah yang mungkin juga ditanyakan Roem Topatimasang dalam bukunya,  ‘Sekolah itu Candu”. Roem banyak melontarkan opini-opininya yang kritis dan gamblang dalam melihat sistem pendidikan di Indonesia yang ia rasa tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan negara. Dan masih pantaskah sekolah mengakui dirinya sebagai pemeran tunggal dalam mencerdaskan seseorang?

          Untuk sedikit melihat kilas balik asal usul dari sekolah yang dimulai pada masa Yunani Kuno, orang Yunani Kuno terbiasa untuk berkunjung ke tempat seseorang yang mereka rasa pandai, mereka menanyakan tentang suatu ihwal atau belajar mengenai suatu ilmu yang mereka butuhkan dalam kehidupan. Dan semua itu mereka lakukan hanya sekedar mengisi waktu luang.

           Mereka menyebut kegiatan itu dengan istilah skhole, scola, scolae, atau schola. Keempat kata itu memiliki arti yang sama yaitu “waktu luang yang digunakan khusus untuk belajar”. Seiring berkembangnya zaman, kegiatan ini berevolusi menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap individu yang kini semakin sistematis. Tetapi Kini sekolah seolah olah menjelma sebagai lembaga yang bisa menentukan nasib seseorang.

      Untuk itu saya  memaparkan gagasan roem topatimasang ini dengan sedikit cuitan dari buku "DUMBING US DOWN" tahun 1919 yang ditulis oleh "jhon tailor gatto". Agar lebih terstruktur. Mungkin buku itu akan membuat melek dan membuat kita berfikir kritis agar tidak selalu mengikutin arus yang sedang berjalan . Dan oke kita break down.!

1. Sekolah itu membuat kita seperti terpenjara.

Sekolah hanyalah sebuah nama baik untuk pengurungan terhadap kebebasan kita saat berfikir. Yang bertujuan membuat kita menjadi orang yang hipotok dan patuh terhadap sistem. Tidak salah jika ada seseorang yang berkata bahwa sekolah tidak mengajarkan kedisiplinan, karna disiplin itu adalah sebuah tindakan baik yang berasal dari sebuah kesadaran dari sendiri, bukan karna takut akan sebuah hukuman yang berlaku. Tetapi faktanya banyak  siswa melakukan hal baik disekolahan itu karna mereka takut akan sebuah hukuman yang akan diberikan jika siswa itu tidak patuh atau melawan. Ini membuat siswa lebih dominan akan rasa takut dibanding rasa sadar akan sebuah tindakannya. Yang akan kembali lagi dengan tujuan utama yaitu patuh terhadap sistem

2. Pengklasifikasian

Sekolah membeda bedakan kita secara kasta yang dimulai dari pengkelesan, yang dimana level kecerdasan siswa dinilai dari secarik kertas yang berakhir layak atau tidak layaknya siswa tersebut naik level atau tidak. Tujuanya adalah agar kita seragam, dan jika kita ada sedikit berbeda dengan yang lain kita akan d anggap aneh dan bodoh. Ini menunjukan yang diwajibkan  sergam tidak hanya pakain tapi juga pemikiran. Dan dari sinilah bisa kita nilai  jahatnya pendidikan Indonesia adalah mereka membuat setiap anak tidak yakin bahwa dirinya berbeda. Ki Hajar Dewantara pada masa lampau pun pernah berkata bahwa padi akan selamanya menjadi padi jagung akan selamanya menjadi jagung, dan jagung tidak bisa menjadi padi begitupun sebaliknya. Dan anak anak juga begitu mereka mempunya kejeniusannya masing-masing dan kepandaian masing masing lantas mengapa standarisasi kecerdasan anak bangsa ini disamakan. Jika pandai ya harus begini jika lulus syaratnya ya hrus begini. Setidaknya Indonesia yang telah memiliki sistem edukasi yang telah berdiri puluhan tahun ini bisa mengakomodasi siswa yang memiliki kecerdasan yang berbeda, tidak malah memvonis sisa yang dianggap beda.

3. Nilai lebih penting daripada proses

Berkaca dengan Finlandia yang dijuluki negara dengan sistem pendidikan terbaik didunia. Ternyata sistem pendidikan indonesi sangat berbeda jauh dengan Finlandia, salah satunya dalam segi ulangan, test, atau ujian sebagai pematok kecerdasan siswa. Di Finlandia tidak ada namanya ujian atau ulangan adanya ulangan hanyalah pada saat umur 16 itupun untuk masuk dalam Perguruan tinggi. Karna bagi mereka ulangan atau ujian hanya akan menghancurkan tujuan dari belajar itu sendiri. Tapi pertanyaanya mengapa mereka bisa menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik dan siswa siswa dengan kemampuan akademis yang mumpuni? Itu karna mereka belajar dengan tujuan bisa mengaplikasikan ilmunya bukan belajar untuk bisa mengerjakan ulangan dan mendapatakan nilai terbaik. Itu yang membuat mengapa diindonesia banyak siswa yang mencontek karna nilai lebih berharga dari pada proses, dan faktanya memang begitu. Guru tak pernah peduli bagaimana caramu bagaimana prosesmu yang dipedulikan hnyalah nilaimu.

4.IGNORANCE/KETIDAKPEDULIAN

Disekolah kita diajarkan untuk menyelamatakan diri kita sendiri dan "SOLVE OUR OWN PROBLEM" untuk menjadi siapa yang terbaik dari semunya. Selain itu kita juga diajari untuk mengikuti aturan atau teks yang tertulis dan mengabaikan nurani kita dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi disekitar kita pada bagian ini bisa menjadi bias jika tidak disikapi dengan baik. Karna tidak selamanya mencontek itu salah dan tidak selamanya membatu teman saat belajar itu benar.

5. Ketergantungan secara emosional dan intelektual

Sadar atau tidak sadar terkadang emosi kita tergantung kepada nilai dalam Secarik kertas. Selain itu standart intelektualitas kita dikaitkan dengan gelar seseorang yang pada faktanya sering kita lihat dilapangan tidak selamanya orang yang bergelar tinggi itu pintar dalam pengaplikasian dilapangan begitupun sebaliknya. Inilah yang membuat terkadang seseorang dikatakan salah jurusan karna apa yg dia pelajari disekolah berbeda dengan apa yang terjadi di kehidupan. Sebab kita kembali lagi bahwa sekolah hanya mengajarkan kita bagai mana menjadi lulusan terbaik, bagaiman caranya mendapat nilai terbaik dan bagaimana menjadi sarjanah yang baik. Tetapi tidak diajari mengenai soft skill, tidak diajari guyub dengan teman, tidak diajari mengembangkan bakat, tidak diajari bagaimana bisa ekspor hal hal. Disekitarmu supaya bisa mengembakangkan bakatmu, kita tidak diajari menjadi pribadi yang baik dan kita dipaksa untuk mencari sendiri. Andaikan kita diajari itu semua diajari dari awal  mungkin semua orang akan menjadi better karna bekerja dan menjalani kehidupan adalah tujuan ahir dari proses pendidikan.

6.sekolah itu telah mati

Seorang pakar psikologi Pendidikan, Benjamin S Bloom mengatakan bahwa sekolah itu pada dasarnya memiliki tiga fungsi pembentukan kepribadian manusia, yaitu untuk membentuk watak dan sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), dan melatih keterampilan (psychomotoric atau conative domain). Ketiga fungsi tersebut menjadi alasan bahwa seseorang butuh akan yang namanya sekolah. Namun, Ketika kita melihat lebih jauh dan kritis, sekolah tidak menjalankan fungsi yang telah disebutkan tadi. Bukankah orang-orang yang melakukan korupsi hari ini juga merupakan lulusan dari lembaga-lembaga pendidikan?  lalu seberapa banyak penemuan-penemuan dan teknologi baru yang ditemukan oleh sekolah di banding oleh lembaga militer dalam mempercanggih alat tempur mereka. Jika dibandingkan, lebih hebat mana sih seorang lulusan teknik mesin dengan seorang anak berusia 15 tahun yang telah bekerja sebagai montir di sebuah bengkel karena harus mencari nafkah di usianya yang sangat dini. Pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan oleh penulis yang dengan berani mengambil kesimpulan bahwa sekolah itu sudah mati. Semestinya, sekolah seharusnya menjelma seperti oasis, kebun, atau taman, yang bermakna bahwa sekolah itu sebagai tempat memuaskan dahaga atas ilmu. Sekolah juga sebagai tempat berteduh dalam kegersangan pemikiran yang usang, atau sebagai tempat menyulam ilmu dan mimpi-mimpi agar bisa menjadi kenyataan yang begitu indah. Mungkin kita juga bisa menelisik dengan fenomena yang terjadi pada saat ini di ponorogo. Ratusan siswi (SMP) hamil dapat disimpulkan bahwa sekolah telah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai pencetak karakter yang baik karna telah kebobolan se mengerikan itu. Mungkin jika ada orang yang berteriak Tuhan itu telah mati kau boleh langsung menyalahkan atau menuding nya tetapi jika ada orang yang berteriak sekolah telah mati mungkin kau harus berfikir dia kali dan membaca buku "SEKOLAH ITU CANDU".

"Selamat membaca"

 ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penulis : Rahmanda Nur Aditya Putra

Seorang Anggota Rayon raden Paku UNU Sunan Giri

Editor : Muhamad Faiz Dzinnuha