SISWA LEBIH MIRIP BARANG PRODUKSI PABRIK , KETIMBANG MANUSIA BELAJAR. Resensi buku Sekolah Itu Candu
Siswa di Indonesia itu lebih mirip barang
produksi pabrik ketimbang manusia belajar, bagaimana tidak? Coba cek isi rapot
kalian disana ada standarisasi kompetensi. Mungkin kita lebih mengenalnya
dengan KKM atau nilai minimum. Siswa mampu inilah, siswa mampu itulah, siswa
kurang beginilah, siswa kurang begitulah, pusyinnngg.!!! Seakan siswa itu
adalah barang mati yang B dia dibentuk sana sini. Kalau ada kurangnya kali ada
cacatnya, bukankah proses penilaian seperti itu lebih mirip proses quality
control. Alias sortir barang pabrik, barang yang tidak layak atau cacat akan
dikembalikan diretur atau lain lain sebagainya. Disekolah itu disebut remidi.
kalau udah di remidi barang tetap cacat akan dipermak sedemikian rupa nilai
direkayasa ujung ujungnya siswa diluluskan juga. Kalau seperti itu bagaimana
kekreativitasan, keotentikan siswa bisa tumbuh? Lah tolak penilaianya sudah ada
standartnya. Apanya yang merdeka belajar ini namanya standarisasi belajar ! Mungkin itulah
cuitan sedikit yang menggambarkan
Pendidikan di indonesia.
Propaganda yang sedari dahulu kita tidak
sadari tentang sekolah. Terkadang kita
membenarkan sesuatu yang mungkin saja
salah atau menyalahkan sesuatu yang mungkin saja benar. Bisa dipastikan
saat mendengar kata sekolah yang terlitas
di benak kita adalah bangunan, gedung,
dan seperangkat alat pengajaranya serta teman sebaya dengan keseruan diwaktu kosong atau tertentu serta
mendengarkan ceramah dari seorang guru dengan durasi super panjang.
Pasti kita pernah
merasakan duduk dibangku sekolah Dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA),
atau mungkin juga kita sekarang sudah berstatus mahasiswa. Dengan
segudang cerita kita di masa masa sekolah, yang jika ditulis akan tidak cukup
jika di bandingkan dengan buku "sejarah dunia yang di sembuyikan"
apalagi dalam selembar kertas yang disebut ijazah.
Selama itu kita
bersekolah, pernahkah kita mempertanyakan apakah sekolah itu?, apakah kita
benar benar bersekolah? dan lebih gilanya kita mempertanyakan apakah sekolah yang membuat kita pandai?
Pertanyaan kritis itu seharusnya pernah terlontar dari mulut kita.
Itulah yang mungkin juga
ditanyakan Roem Topatimasang dalam bukunya,
‘Sekolah itu Candu”. Roem banyak melontarkan opini-opininya yang kritis
dan gamblang dalam melihat sistem pendidikan di Indonesia yang ia rasa tidak
sesuai dengan apa yang dibutuhkan negara. Dan masih pantaskah sekolah mengakui
dirinya sebagai pemeran tunggal dalam mencerdaskan seseorang?
Untuk sedikit
melihat kilas balik asal usul dari sekolah yang dimulai pada masa Yunani Kuno,
orang Yunani Kuno terbiasa untuk berkunjung ke tempat seseorang yang mereka
rasa pandai, mereka menanyakan tentang suatu ihwal atau belajar mengenai suatu
ilmu yang mereka butuhkan dalam kehidupan. Dan semua itu mereka lakukan hanya
sekedar mengisi waktu luang.
Mereka menyebut
kegiatan itu dengan istilah skhole, scola, scolae, atau schola. Keempat kata
itu memiliki arti yang sama yaitu “waktu luang yang digunakan khusus untuk
belajar”. Seiring berkembangnya zaman, kegiatan ini berevolusi menjadi
kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap individu yang kini semakin
sistematis. Tetapi Kini sekolah seolah olah menjelma sebagai lembaga yang bisa
menentukan nasib seseorang.
Untuk itu saya memaparkan gagasan roem topatimasang ini
dengan sedikit cuitan dari buku "DUMBING US DOWN" tahun 1919 yang
ditulis oleh "jhon tailor gatto". Agar lebih terstruktur. Mungkin
buku itu akan membuat melek dan membuat kita berfikir kritis agar tidak selalu
mengikutin arus yang sedang berjalan . Dan oke kita break down.!
1. Sekolah itu membuat kita seperti terpenjara.
Sekolah hanyalah sebuah nama baik untuk pengurungan terhadap
kebebasan kita saat berfikir. Yang bertujuan membuat kita menjadi orang yang
hipotok dan patuh terhadap sistem. Tidak salah jika ada seseorang yang berkata
bahwa sekolah tidak mengajarkan kedisiplinan, karna disiplin itu adalah sebuah
tindakan baik yang berasal dari sebuah kesadaran dari sendiri, bukan karna
takut akan sebuah hukuman yang berlaku. Tetapi faktanya banyak siswa melakukan hal baik disekolahan itu
karna mereka takut akan sebuah hukuman yang akan diberikan jika siswa itu tidak
patuh atau melawan. Ini membuat siswa lebih dominan akan rasa takut dibanding
rasa sadar akan sebuah tindakannya. Yang akan kembali lagi dengan tujuan utama
yaitu patuh terhadap sistem
2. Pengklasifikasian
Sekolah membeda bedakan kita secara kasta yang dimulai dari
pengkelesan, yang dimana level kecerdasan siswa dinilai dari secarik kertas
yang berakhir layak atau tidak layaknya siswa tersebut naik level atau tidak.
Tujuanya adalah agar kita seragam, dan jika kita ada sedikit berbeda dengan
yang lain kita akan d anggap aneh dan bodoh. Ini menunjukan yang
diwajibkan sergam tidak hanya pakain
tapi juga pemikiran. Dan dari sinilah bisa kita nilai jahatnya pendidikan Indonesia adalah mereka
membuat setiap anak tidak yakin bahwa dirinya berbeda. Ki Hajar Dewantara pada
masa lampau pun pernah berkata bahwa padi akan selamanya menjadi padi jagung
akan selamanya menjadi jagung, dan jagung tidak bisa menjadi padi begitupun
sebaliknya. Dan anak anak juga begitu mereka mempunya kejeniusannya
masing-masing dan kepandaian masing masing lantas mengapa standarisasi
kecerdasan anak bangsa ini disamakan. Jika pandai ya harus begini jika lulus
syaratnya ya hrus begini. Setidaknya Indonesia yang telah memiliki sistem
edukasi yang telah berdiri puluhan tahun ini bisa mengakomodasi siswa yang
memiliki kecerdasan yang berbeda, tidak malah memvonis sisa yang dianggap beda.
3. Nilai lebih penting daripada proses
Berkaca dengan Finlandia yang dijuluki negara dengan sistem
pendidikan terbaik didunia. Ternyata sistem pendidikan indonesi sangat berbeda
jauh dengan Finlandia, salah satunya dalam segi ulangan, test, atau ujian
sebagai pematok kecerdasan siswa. Di Finlandia tidak ada namanya ujian atau
ulangan adanya ulangan hanyalah pada saat umur 16 itupun untuk masuk dalam
Perguruan tinggi. Karna bagi mereka ulangan atau ujian hanya akan menghancurkan
tujuan dari belajar itu sendiri. Tapi pertanyaanya mengapa mereka bisa menjadi
negara dengan sistem pendidikan terbaik dan siswa siswa dengan kemampuan
akademis yang mumpuni? Itu karna mereka belajar dengan tujuan bisa
mengaplikasikan ilmunya bukan belajar untuk bisa mengerjakan ulangan dan mendapatakan
nilai terbaik. Itu yang membuat mengapa diindonesia banyak siswa yang mencontek
karna nilai lebih berharga dari pada proses, dan faktanya memang begitu. Guru
tak pernah peduli bagaimana caramu bagaimana prosesmu yang dipedulikan hnyalah nilaimu.
4.IGNORANCE/KETIDAKPEDULIAN
Disekolah kita diajarkan untuk menyelamatakan diri kita sendiri dan
"SOLVE OUR OWN PROBLEM" untuk menjadi siapa yang terbaik dari
semunya. Selain itu kita juga diajari untuk mengikuti aturan atau teks yang
tertulis dan mengabaikan nurani kita dalam menyikapi segala sesuatu yang
terjadi disekitar kita pada bagian ini bisa menjadi bias jika tidak disikapi
dengan baik. Karna tidak selamanya mencontek itu salah dan tidak selamanya
membatu teman saat belajar itu benar.
5. Ketergantungan secara emosional dan intelektual
Sadar atau tidak sadar terkadang emosi kita tergantung kepada nilai
dalam Secarik kertas. Selain itu standart intelektualitas kita dikaitkan dengan
gelar seseorang yang pada faktanya sering kita lihat dilapangan tidak selamanya
orang yang bergelar tinggi itu pintar dalam pengaplikasian dilapangan begitupun
sebaliknya. Inilah yang membuat terkadang seseorang dikatakan salah jurusan
karna apa yg dia pelajari disekolah berbeda dengan apa yang terjadi di
kehidupan. Sebab kita kembali lagi bahwa sekolah hanya mengajarkan kita bagai
mana menjadi lulusan terbaik, bagaiman caranya mendapat nilai terbaik dan
bagaimana menjadi sarjanah yang baik. Tetapi tidak diajari mengenai soft skill,
tidak diajari guyub dengan teman, tidak diajari mengembangkan bakat, tidak
diajari bagaimana bisa ekspor hal hal. Disekitarmu supaya bisa mengembakangkan
bakatmu, kita tidak diajari menjadi pribadi yang baik dan kita dipaksa untuk
mencari sendiri. Andaikan kita diajari itu semua diajari dari awal mungkin semua orang akan menjadi better karna
bekerja dan menjalani kehidupan adalah tujuan ahir dari proses pendidikan.
6.sekolah itu telah mati
Seorang pakar psikologi Pendidikan, Benjamin S Bloom mengatakan
bahwa sekolah itu pada dasarnya memiliki tiga fungsi pembentukan kepribadian
manusia, yaitu untuk membentuk watak dan sikap (affective domain),
mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), dan melatih keterampilan
(psychomotoric atau conative domain). Ketiga fungsi tersebut menjadi alasan
bahwa seseorang butuh akan yang namanya sekolah. Namun, Ketika kita melihat
lebih jauh dan kritis, sekolah tidak menjalankan fungsi yang telah disebutkan
tadi. Bukankah orang-orang yang melakukan korupsi hari ini juga merupakan
lulusan dari lembaga-lembaga pendidikan?
lalu seberapa banyak penemuan-penemuan dan teknologi baru yang ditemukan
oleh sekolah di banding oleh lembaga militer dalam mempercanggih alat tempur
mereka. Jika dibandingkan, lebih hebat mana sih seorang lulusan teknik mesin
dengan seorang anak berusia 15 tahun yang telah bekerja sebagai montir di
sebuah bengkel karena harus mencari nafkah di usianya yang sangat dini.
Pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan oleh penulis yang dengan berani mengambil
kesimpulan bahwa sekolah itu sudah mati. Semestinya, sekolah seharusnya
menjelma seperti oasis, kebun, atau taman, yang bermakna bahwa sekolah itu
sebagai tempat memuaskan dahaga atas ilmu. Sekolah juga sebagai tempat berteduh
dalam kegersangan pemikiran yang usang, atau sebagai tempat menyulam ilmu dan mimpi-mimpi
agar bisa menjadi kenyataan yang begitu indah. Mungkin kita juga bisa menelisik
dengan fenomena yang terjadi pada saat ini di ponorogo. Ratusan siswi (SMP)
hamil dapat disimpulkan bahwa sekolah telah gagal dalam menjalankan fungsinya
sebagai pencetak karakter yang baik karna telah kebobolan se mengerikan itu.
Mungkin jika ada orang yang berteriak Tuhan itu telah mati kau boleh langsung
menyalahkan atau menuding nya tetapi jika ada orang yang berteriak sekolah
telah mati mungkin kau harus berfikir dia kali dan membaca buku "SEKOLAH
ITU CANDU".
"Selamat membaca"
Penulis : Rahmanda Nur Aditya Putra
Seorang Anggota Rayon raden Paku UNU Sunan Giri
Editor : Muhamad Faiz Dzinnuha