Cahaya Terang di Bulan Rajab yang Penuh dengan Keberkahan
Cahaya
bukan hanya tentang
surya yang menyinari bentala setelah fajar sirna dan bukan pula tentang lampu atau
lilin yang menerangi ruangan gulita. Namun lebih tepatnya tulisan ini
menggambarkan sebuah cahaya maknawi yang sering di perdengarkan kepada kita
dengan ungkapan “habis gelap terbitlah terang” atau dengan bahasa yang serupa yang
sering disebut Minadzulumati ilannur (dari kegelapan menuju cahaya).
Disni
penulis akan mencoba menguraikan dari istilah-istilah di atas, dengan
seperangkat ilmu yang telah di ilhamkan (ditunjukkan) tuhan kepada manusia. Pada
hakikatnya Tuhan telah memberikan petunjuknya berupa Alquran, juga penuntunnya
beliau nabi Muhammad Saw,
agar manusia kembali ke jalan-Nya.
Tapi kenapa manusia
sering lalai akan hal itu dan bahkan sampai memilih jalan lain?. Cobalah gali secara
lebih mendalam dari beberapa kalimat yang mempunyai kemiripan makna di atas,
dengan ungkapan semua manusia pasti pernah tersesat atau merasa berbuat salah,
baik itu secara sengaja ataupun tidak.
Akan tetapi bukankah manusia
yang baik adalah dia yang mampu memperbaiki kesalahannya?
Kalimat
tersebut memang benar,
tetapi juga tidak mudah dilakukan
karena perlu adanya sebuah langkah langkah hierarki yang secara
konsisten harus di lakukan. Ibarat kata seseorang, belajar itu di mulai
dari belajar kata kemudian menjadi kalimat dan menjadi sebuah karya yang
mengandung keilmuan (ilmiah).
Manusia
bisa mempunyai cita-cita setinggi mungkin. Akan tetapi dalam menggapainya harus
di lakukan secara bertahap dan konsisten.
Analoginya kaki akan
bermanfaat jika dia berjalan satu persatu atau tidak bebarengan. Begitu
pula dengan proses manusia perlu adanya evaluasi pembelajaran secara berkala
dan konsisten demi terwujudnya sebuah integritas ilmu dan akhlak yang di miliki.
Mengenai ilmu akhlak dimana posisi akal dapat
membedakan antara sapi,
kerbau ataupun kambing. Dengan bahasa
sederhana akal adalah anugrah dari tuhan yang di berikan kepada manusia untuk
memilih dan memilah mana yang baik dan buruk, ataupun mana yang benar dan yang salah.
Lalu
apakah dia akan berfungsi sebagai pembeda jika tanpa rasa?
Oke,
penulis akan coba mencari tahu akan hal tersebut, rasa selalu terpengaruh oleh
beberapa kejadian di sekitar kita. Sebagai
contoh; seseorang yang merasa
cemas maka akalnya tidak akan dapat mengambil keputusan secara efektif dan
hasilnya pasti kacau. Artinya setiap manusia mempunyai kecenderungan rasa yang
berbeda tergantung dari setiap pengalaman dan ilmu yang di milikinya.
Dari
konsep di atas, kita belajar bahwa perjalanan manusia selalu terpengaruh oleh
hal-hal di luar manusia itu sendiri, sehingga dapat mempengaruhi pola pikir, tindakan
maupun perilakunya. Bagaimanapun seorang manusia tidak akan pernah ada kata
terlambat untuk selalu menabur benih kebajikan dan kita sirami dengan rasa
ikhlas yang nanti pada akhirnya kita akan memanen rasa mahabbah.
Lalu sebenarnya yang menjadi
prioritas utama manusia itu apa?,
Apakah cinta atau
cita?
Dua
hal itu lah yang menjadi tanda tanya besar tentang tujuan manusia, sampai-sampai
mereka sendiri melupakan proses minadzulumati ilannur, sehingga dia
menganggap bahwa cahaya itu gelap karena manusia tidak bisa merasakan hadirnya
cahaya tersebut dengan hatinya. Dengan kata lain manusia terkadang selalu
terpengaruh oleh nilai nilai yang di bawakan orang lain, daripada nilai-nilai yang sudah di
yaniki.
Lalu
bagaimana cara mewujudkan
konsep dari gelap menuju cahaya tersebut?
Memnag tidak mudah tetapi juga bukan hal
sulit untuk menerapkannya. Manusia harus senantiasa berpegang pada nilai-nilai
kebajikan. Katakanlah nilai agama atau nilai-nilai tatanan sosial dan budaya.
dengan demikian maka akan melahirkan kualitas akhlak dan moralitas yang baik
yang terkonstruksi dengan ilmu. Sehingga
tidak seperti air di atas daun talas yang
terombang ambing oleh angin.
Edisi muhasabah di bulan Rajab
Terima kasih, Semoga bermanfaat.
Penulis: Ahmad Ridwan adalah
mahasiswa PAI dan Anggota PMII Rayon Raden Paku