blogkoding cineblog scscrc123 indoblog Cut Nyak Dien dan Gerakan Perempuan Dibalik Kelembutan - diksipergerakan
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cut Nyak Dien dan Gerakan Perempuan Dibalik Kelembutan

 


Oleh: Muhtoharotul Husna

Perempuan identik dengan sifat yang lembut, dan penuh kasih sayang yang menenangkan. Seringkali membuatnya dianggap kaum yang lemah, hanya karena ketika terjadi suatu hal pada dirinya.

Dia tidak mampu melawan dengan tenaga dan fisiknya. Dan tidak bisa berbuat apapun, selain mengeluarkan air dari mata yang indah. Namun, perlu di ketahui bahwa anggapan tersebut tidak bisa selalu dibenarkan. Jika kita menengok kebelakang tentang perjuangan seorang srikandi aceh, yaitu Cut Nyak Dien.

H. C Zentgraaff menyatakan. Dari pengalaman yang dimiliki, oleh panglima-panglima perang yang telah melakukan peperangan, di seluruh penjuru Indonesia. "Tiada bangsa yang pemberani perang serta fanatik dibandingkan dengan bangsa aceh, dan kaum wanita aceh yang melebihi kaum wanita lainnya. Mereka tidak gentar mati, bahkan bisa melampaui laki-laki untuk mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya".

Aceh memang bangsa yang dikenal sangat kental dengan agama Islam, tidak heran jika semua bangsa Aceh rela berjuang untuk membela agamanya tersebut. Bahkan para perempuan-perempuan Aceh sekalipun.

Hal ini bukan tanpa sebab, bahwasanya Aceh adalah daerah paling ujung barat, dan utara Indonesia yang dijadikan gerbang masuknya bangsa asing ke negeri ini.

Dengan seiring berjalannya waktu. Bangsa asing semakin lama semakin haus kekuasaan, sehingga menimbulkan peperangan dengan Bangsa Aceh. Hal ini juga menjadi salah satu pemicu, mengapa perempuan-perempuan Aceh semakin kuat, dan menjadi pemberani sama halnya kaum laki-laki, seperti Cut Nyak Dien.

Cut Nyak Dien adalah seorang perempuan yang lahir dikampung Lam Padang Peukan Beda, wilayah VI Aceh Besar tahun 1848. Kakeknya berasal dari Sumatera Barat, yang merantau ke Aceh. Juga banyak membantu sultan Aceh, kemudian diberi kekuasaan plus mempunyai 2 keturunan.

Yaitu ayah dari Cut Nyak Dien dan saudaranya. Ibu Cut Nyak Dien juga keturunan bangsawan Aceh. Jadi tidak heran, dalam jiwa Cut Nyak Dien bersemi semangat kepahlawanan yang luar biasa.

Pada usia 12 tahun Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Ibrahim. Pada 1873, terjadilah peperangan di Aceh, yang merenggut nyawa dari suami Cut Nyak Dien. Dari peristiwa itu, membuat Cut Nyak Dien sangat sedih dan kecewa, yang menjadikan pemicu dari semangat perjuangan membela bangsanya.

Setelah lama menjanda, Cut Nyak Dien masih tidak mau menerima pinangan dari beberapa lelaki, hingga pinangan dari Teuku Umar juga ia tolak. Kemudian pinangan yang kedua baru ia terima, karena Teuku Umar memperbolehkannya untuk ikut di medan perang, alias tidak di rumah saja.

Hal itu yang menjadi alasan Cut Nyak Dien, untuk tidak menikah kembali, karena dia mencari sosok lelaki yang bisa menemaninya, untuk menuntut balas dendam atas kematian suaminya.

Akhirnya Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar, dan bangkitlah Aceh dengan bersatunya dua kesatria ini.

Teuku Umar ini adalah orang yang unik, dengan taktik atau sandiwara untuk membuat perlawanan terhadap Belanda. Terkadang dia berpihak pada belanda. Hal ini membuatnya juga dibenci, dan bisa juga di senangi oleh rakyat.

Namun, lama kelamaan sandiwara Teuku Umar dan Cut Nyak Dien terbongkar. Belanda pun menyatakan perang terhadap Teuku Umar, dan mencabut segala fasilitas serta jabatan yang diberikan kepada Teuku Umar. Tetapi pada pertempuran tersebut Teuku Umar tertembak peluru dari tentara Belanda.

Atas kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien tidak gentar dan tetap melanjutkan perjuangan suaminya. Dengan keberanian, dukungan teman dan intelektualnya. Selama berjuang dengan para pengikutnya, dia rela keluar masuk belantara untuk menghindari kejaran belanda.

Dengan cara hidup yang berpindah-pindah dan menerapkan suatu peraturan kepada para pengikutnya, yaitu tidak boleh memasak menggunakan api, membuat tempat tinggal di semak-semak juga memanfaatkan anak-anak sebagai mata-mata. Cara ini membuat belanda kesulitan mencari keberadaannya beserta pengikutnya.

Masa demi masa berlalu, Cut Nyak Dien beserta pengikutnya yang hidup di hutan belantara juga butuh makanan, lama kelamaan semua harta juga bekal makanannya pun akan habis juga.

Usia Cut Nyak Dien juga semakin tua, penyakit rabun dan encok sudah membuatnya semakin lemah untuk melawan penjajah. Akhirnya, salah satu pasukannya yang bernama Pang Laot kasihan dengan Cut Nyak Dien, dengan keadaannya itu yang kemudian menyuruhnya untuk menyerahkan diri kepada Belanda.

Tetapi hal itu membuat kemurkaan Cut Nyak Dien. Dia memaki-maki Pang Laot dan berkata. "Lebih baik aku mati di belantara ini, dari pada harus tunduk dengan kafir." Namun Pang Laot masih saja berkhianat dengan Cut Nyak Dien karena keibaannya itu.

Dia pun menyerahkan diri kepada Belanda dan membuat kesepakatan. Dia mau menyerahkan Cut Nyak Dien tapi dengan syarat, Cut Nyak Dien harus diperlakukan dengan baik.

Akhirnya setelah beberapa lama pencarian Cut Nyak Dien tertangkap, dan dibawa ke Kutaraja. Sesuai kesepakatan, dia diperlakukan seperti putri. dengan pakaian indah makanan yang cukup. Dan pelayanan yang layak.

Rakyatnya yang masih mencintainya, secara bergantian menjenguknya di tahanan. Tetapi suasana ini membahayakan. Gubernur Belanda kemudian mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang. Pada tanggal 6 November 1908 Cut Nyak Dien meninggal di pengasingan, yang jauh dari keluarga dan rakyatnya.

Begitulah ihwal perjuangan Cut Nyak Dien. Yang selalu berjuang tanpa henti. Perempuan gigih berani, dan rela mati. Demi kemerdekaan bangsa dan agamanya.