blogkoding cineblog scscrc123 indoblog Tinta Hitam - diksipergerakan
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tinta Hitam

 

Tinta Hitam

Oleh : lLaTusaa

Lailatus sa’adah

 


“Sebauh kata menjadi pedoman, pahit dan manis dalam hidup. Rindu selalu menggebu dalam hati, tak pernah ku lupa akan do’a, agar kau tenang disana. Wahai Tuhan sang penguasa semesta, lindungi dia dalam dekapanmu, sayangi dia dalam senyumu. Sungguh aku menyayanginya.”

            Coretan penuh coretan sebuah tinta, air mata yang tak pernah berhenti mengalir saat mengingatnya. Tujuh belas Tahun, dimana ia meninggalkan bumi ini, meninggalkan keluarga. Yang menimbulkan kesedihan bagi yang ditinggalkan.

            Anisa salma adalah putri tunggal dari Agus Praminto dan Siska Aningrum. Kehidupan yang dulu sangat bahagia, penuh dengan canda dan tawa.  Anisa yang begitu sayang kepada kedua Orangtuanya, terutama sang ibu. Di usia Anisa yang masih sepuluh tahun, ia harus di tinggalkan oleh sesosok ibu, Anisa yang masih butuh kasih sayang dan belaian dari tangan halus nan lembut dari tangan ibu. Kini, ia harus hidup mandiri menjadi dewasa sebelum waktunya.

            Kehidupan Anisa jauh berbeda dengan bulan sebelum Bundanya meninggal, Ayahnya yang dulu sangat menyayanginya sekarang menjadi seorang pemabuk dan judi. Selalu pulang dalam larut malam, dan tak senggan untuk memukul Anisa, jika Anisa mecoba untuk mengingatkan.

            “Kamu masih kecil tidak usah sok pintar menasehati.” Sahut ayah Anisa ketika mendengar Anisa mengucap kata bijak.

            “Tapi Ayah-“

            Plaaakk

            Tamparan manis medarat di pipi Anisa, sontak Anisa membeku. Ini bukan lagi hal aneh bagi Anisa. Memang, semenjak Bundanya meninggal ayah Anisa selalu berbuat jahat kepada Anisa.

            Anisa tidak pernah membantah  ataukah pergi meninggalkan Ayahnya, meski perih di pipi Anisa, selalu ia tahan, dan seakan ia baik-baik saja. Setelah dirasa Ayahnya mulai tenang, Anisa beranjak pergi untuk merebus air untuk mandi dan secangkir kopi. Lalu, ia menghampri Ayahnya kembali yang masih terlihat lemas dan mengoceh tanpa henti.

            “Ayah, Anisa udah menyiapkan air hangat untuk Ayah.” Ucap Anisa lembut, dengan memberikan handuk yang sempat ia bawa tadi dari belakang. Ayah meraihnya kasar. Lalu, pergi ke kamar mandi.

            Anisa menatap sendu Ayahnya, dulu ia adalah seorang Ayah yang sangat sayang padanya, bahkan akan marah jika ada yang melukai putrinya itu. Kini justru sebaliknya, bukan anak kecil seusianya yang melukainya, tetapi sang Ayah yang ia selalu banggakan setiap berkumpul dengan temannya.

            “Aku punya superhero lo dirumah.” Titah Anisa ketika ia sedsng bermain bersama teman-teman nya.

            “benarkah.” Tanya salah satu temannya dengan antusias.

            “Iya, dia baaaikkkk banget. Kalo ada yang mengangguku, ia akan pukul. Seperti ini.” Titah Anisa semangat, dengan menirukan gaya superhero yang pernah ia jumpai di kartun televisinya.

            “Waah, aku jadi ingin punya superhero sepertimu. Apakah aku boleh tau orangnya?.” Tanya temannya lagi.

            “Tentu saja boleh, tapi jangan kau rebut dia. Aku sayang sama dia, sayangggggg banget.” Ucap Anisa penuh semangat. “Dia adalah Ayahku, suami dari Bundaku.” Ucapnya lagi.

Itulah Anisa selalu mebanggakan Ayah Bundanya dihadapan semua teman-temannya. Kini semua itu sekedar ucapan belaka, karna pada akhirnya,  inilah Anisa yang sekarang. Anisa yang udah mulai pudar dalam senyumnya. Anisa yang tidak lagi membanggakan kedua orangtuanya, Anisa yang tidak lagi bermain dengan anak se usianya. Ini justru sangat aneh buat Anisa. Ia harus dagang gorengan hasil buatan tetangganya yag ia jual sepulang sekolah, banyak teman yang meledeknya atau bahkan tidak ada lagi yang berteman dengannya.

“Untuk kata Rindu, seuntai kata cinta. Berharap yang terbaik untuk sang cakrawala. Ini adalah kehidupan pilu buatku, tahun pertahun aku menulis sebuah rasa, tentang dikau dan diriku di masa depan. Akankan akan semanis buah pepaya? Atau bahkan se masam buah sirsak?. Akankah semulus kulit semangka? Atau bahkan kulit nangka?. Tuhan, hati ini seakan berat untuk tetap berdiri tegak, akan kah kebahagiaan akan beralih kepadaku? Sang pujangga rindu, sehelai daun mawar tak cukup untuk menabur wangi di makammu wahai ibu.”

Tinta hitam yang selalu menghiasi kehidupan Anisa hingga beranjak menjadi gadis cantik dan manis. Kehidupan yang belum berubah, masih bersama sang Ayah yang gila miras dan ia yang harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memar dibadan yang tak luput hilang, atau bahkan selalu bertambah setiap harinya. Tapi ia tak pernah melupakan sebuah kata, yang ia pegang dan menjadi gadis tangguh seperti ini.

            “Anisa harus jadi anak mandiri ya, patuh sama ayah, jangan jadi anak yang membangkang ya, bikin Ayah sama Bunda bangga sama kamu.” Itu adalah pesan dari Bunda Anisa sebelum ia pergi meninggalkan Anisa. “Bunda akan bahagia, kalo Anak Bunda bahagia, apapun yang terjadi Anisa harus menurut sama Ayah ya, selalu senyum dan semangat.” Titah Bunda selanjutnya.

            “Kenapa harus sama Ayah saja Bunda? Sama Bunda juga, Anisa akan selalu menurut sama Ayah dan Bunda, Anisa sayang sama kalian. Anisa juga akan bahagia kalo Bunda juga bahagia. Sehat jangan sakit terus, Anisa gak tega melihatnya.” Ucap Anisa, yang dulu masih berusia sepuluh Tahun tepatnya. Sambil menundukkan kepalanya, tidak sanggup menatap Bundanya, air mata mulai membasahi pipi Anisa.

            “Iya. Bunda percaya sama anak Bunda, Bunda juga sayang sama Anisa, Bunda akan sembuh sayang. Tapi Bunda tidak janji untuk selalu disamping Anisa.” Ucap Bunda dengan lembut, senyum yang menghangatkan, belaian tangan yang sangat menenangkan. “Ehh, kog Anisa sedih nanti Bunda ikut sedih lo.” Sambungnya. Dengan cepat Anisa mengusap air matanya dan tersenyum lucu didepan sang bunda.

            Kata yang selalu terngiang dalam pikiran Anisa hingga ia menjadi gadis murah senyum dalam pilu dihati, buku kecil dan Tinta Hitam yang slalu menemaninya setiap hari, segala kesedihan ia curahkan kedalam buku itu, seakan buku itulah sahabat baik Anisa, dengan rasa syukur yang ia torehkan, dengan senyuman dengan semangat dalam menjalani hidup. Membuat ia mernikamti hidupnya yang sekarang dengan lapang dada dan ikhlas.

“Tidak pernah ada kata terakhir selagi kita masih berhembus nafas, tidak ada kata sudah cukup, selagi masih bisa berjalan. Roda kehidupan akan selalu berputar, tersenyumlah dalam setiap langkah kamu berjalan, kobarkan api semangat dalam diri, agar menjadi tombak kita di titik terbaik. Tidak ada manusia tidak beruntung, kecuali dia yang kurang besyukur.”

“Tidak akan pernah ada kata terlambat buat kita yang berusaha, tidak ada kata gagal buat kita yang mau berproses.”

“Hidup dengan lika liku, ada senang ada sedih, ada tawa ada tangis. Datang dan pergi. Itu akan terjadi dari kita, tidak peduli usia muda atau tua, tak peduli kaya atau miskin. Kita manusia adalah satu tubuh, yang sama-sama akan merasakan itu semua.”

“Nikmati proses, perbanyak rasa syukur. Apa kamu dapatnya akan merasa cukup. Selalu rendah hati, dan tolong menolong.”

 

~TAMAT~