Tinta Hitam
Tinta Hitam
Oleh
: lLaTusaa
Lailatus sa’adah
“Sebauh kata menjadi pedoman, pahit dan manis dalam hidup. Rindu selalu
menggebu dalam hati, tak pernah ku lupa akan do’a, agar kau tenang disana.
Wahai Tuhan sang penguasa semesta, lindungi dia dalam dekapanmu, sayangi dia
dalam senyumu. Sungguh aku menyayanginya.”
Coretan
penuh coretan sebuah tinta, air mata yang tak pernah berhenti mengalir saat
mengingatnya. Tujuh belas Tahun, dimana ia meninggalkan bumi ini, meninggalkan
keluarga. Yang menimbulkan kesedihan bagi yang ditinggalkan.
Anisa
salma adalah putri tunggal dari Agus Praminto dan Siska Aningrum. Kehidupan
yang dulu sangat bahagia, penuh dengan canda dan tawa. Anisa yang begitu sayang kepada kedua
Orangtuanya, terutama sang ibu. Di usia Anisa yang masih sepuluh tahun, ia
harus di tinggalkan oleh sesosok ibu, Anisa yang masih butuh kasih sayang dan
belaian dari tangan halus nan lembut dari tangan ibu. Kini, ia harus hidup
mandiri menjadi dewasa sebelum waktunya.
Kehidupan
Anisa jauh berbeda dengan bulan sebelum Bundanya meninggal, Ayahnya yang dulu
sangat menyayanginya sekarang menjadi seorang pemabuk dan judi. Selalu pulang
dalam larut malam, dan tak senggan untuk memukul Anisa, jika Anisa mecoba untuk
mengingatkan.
“Kamu
masih kecil tidak usah sok pintar menasehati.” Sahut ayah Anisa ketika
mendengar Anisa mengucap kata bijak.
“Tapi
Ayah-“
Plaaakk
Tamparan
manis medarat di pipi Anisa, sontak
Anisa membeku. Ini bukan lagi hal aneh bagi Anisa. Memang, semenjak Bundanya
meninggal ayah Anisa selalu berbuat jahat kepada Anisa.
Anisa
tidak pernah membantah ataukah pergi
meninggalkan Ayahnya, meski perih di pipi Anisa, selalu ia tahan, dan seakan ia
baik-baik saja. Setelah dirasa Ayahnya mulai tenang, Anisa beranjak pergi untuk
merebus air untuk mandi dan secangkir kopi. Lalu, ia menghampri Ayahnya kembali
yang masih terlihat lemas dan mengoceh tanpa henti.
“Ayah,
Anisa udah menyiapkan air
hangat untuk Ayah.” Ucap Anisa lembut, dengan memberikan handuk yang sempat ia
bawa tadi dari belakang. Ayah meraihnya kasar. Lalu, pergi ke kamar mandi.
Anisa
menatap sendu Ayahnya, dulu ia adalah seorang Ayah yang sangat sayang padanya,
bahkan akan marah jika ada yang melukai putrinya itu. Kini justru sebaliknya,
bukan
anak kecil seusianya yang melukainya, tetapi sang Ayah yang ia selalu banggakan
setiap berkumpul dengan temannya.
“Aku
punya superhero lo dirumah.” Titah Anisa ketika ia sedsng bermain bersama
teman-teman nya.
“benarkah.”
Tanya salah satu temannya dengan antusias.
“Iya,
dia baaaikkkk banget. Kalo ada yang mengangguku, ia akan pukul. Seperti ini.”
Titah
Anisa semangat, dengan menirukan gaya superhero yang pernah ia jumpai di kartun
televisinya.
“Waah,
aku jadi ingin punya superhero sepertimu. Apakah aku boleh tau orangnya?.”
Tanya temannya lagi.
“Tentu
saja boleh, tapi jangan kau rebut dia. Aku sayang sama dia, sayangggggg
banget.” Ucap Anisa penuh semangat. “Dia adalah Ayahku, suami dari Bundaku.”
Ucapnya lagi.
Itulah Anisa selalu mebanggakan
Ayah Bundanya dihadapan semua teman-temannya. Kini semua itu sekedar ucapan
belaka, karna pada akhirnya, inilah
Anisa yang sekarang. Anisa yang udah mulai pudar dalam senyumnya. Anisa yang
tidak lagi membanggakan kedua orangtuanya, Anisa yang tidak lagi bermain dengan
anak se usianya. Ini justru sangat aneh buat Anisa. Ia harus dagang
gorengan hasil buatan tetangganya yag ia jual sepulang sekolah, banyak teman
yang meledeknya atau bahkan tidak ada lagi yang berteman dengannya.
“Untuk kata Rindu, seuntai kata cinta. Berharap yang
terbaik untuk sang cakrawala. Ini adalah kehidupan pilu buatku, tahun pertahun
aku menulis sebuah rasa, tentang dikau dan diriku di masa depan. Akankan akan
semanis buah pepaya? Atau bahkan se masam buah sirsak?. Akankah semulus kulit
semangka? Atau bahkan kulit nangka?. Tuhan, hati ini seakan berat untuk tetap
berdiri tegak, akan kah kebahagiaan akan beralih kepadaku? Sang pujangga rindu,
sehelai daun mawar tak cukup untuk menabur wangi di makammu wahai ibu.”
Tinta hitam yang selalu
menghiasi kehidupan Anisa hingga beranjak
menjadi gadis cantik dan manis. Kehidupan yang belum berubah, masih bersama
sang Ayah yang gila miras dan ia yang
harus banting tulang
untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Memar dibadan yang tak luput hilang, atau bahkan selalu bertambah setiap
harinya. Tapi ia tak pernah melupakan sebuah kata, yang ia pegang dan menjadi
gadis tangguh seperti ini.
“Anisa
harus jadi anak mandiri ya, patuh sama ayah, jangan jadi anak yang membangkang
ya, bikin Ayah sama Bunda bangga sama kamu.” Itu adalah pesan dari Bunda Anisa
sebelum ia pergi meninggalkan Anisa. “Bunda akan bahagia, kalo Anak Bunda
bahagia, apapun yang terjadi Anisa harus menurut sama Ayah ya, selalu senyum
dan semangat.” Titah Bunda selanjutnya.
“Kenapa
harus sama Ayah saja Bunda? Sama Bunda juga, Anisa akan selalu menurut sama
Ayah dan Bunda, Anisa sayang sama kalian. Anisa juga akan bahagia kalo Bunda
juga bahagia. Sehat jangan sakit terus, Anisa gak tega melihatnya.” Ucap Anisa,
yang dulu masih berusia sepuluh Tahun tepatnya. Sambil menundukkan
kepalanya, tidak sanggup menatap Bundanya, air mata mulai membasahi pipi Anisa.
“Iya.
Bunda percaya sama anak Bunda, Bunda juga sayang sama Anisa, Bunda akan sembuh
sayang. Tapi Bunda tidak janji untuk selalu disamping Anisa.” Ucap Bunda dengan
lembut, senyum yang menghangatkan, belaian tangan yang sangat menenangkan.
“Ehh, kog Anisa sedih nanti Bunda ikut sedih lo.” Sambungnya. Dengan cepat
Anisa mengusap air matanya dan tersenyum lucu didepan sang bunda.
Kata
yang selalu terngiang dalam pikiran Anisa hingga ia menjadi gadis murah senyum
dalam pilu dihati, buku kecil dan Tinta Hitam yang slalu menemaninya setiap
hari, segala kesedihan ia curahkan kedalam buku itu, seakan buku itulah sahabat
baik Anisa, dengan rasa syukur yang ia torehkan, dengan senyuman dengan
semangat dalam menjalani hidup. Membuat ia mernikamti hidupnya yang sekarang
dengan lapang dada dan ikhlas.
“Tidak pernah ada kata terakhir selagi kita masih berhembus nafas, tidak
ada kata sudah cukup, selagi masih bisa berjalan. Roda kehidupan akan selalu
berputar, tersenyumlah dalam setiap langkah kamu berjalan, kobarkan api semangat
dalam diri, agar menjadi tombak kita di titik terbaik. Tidak ada manusia tidak
beruntung, kecuali dia yang kurang besyukur.”
“Tidak akan pernah ada kata terlambat buat kita yang berusaha, tidak ada
kata gagal buat kita yang mau berproses.”
“Hidup dengan lika liku, ada senang ada sedih, ada tawa ada tangis. Datang
dan pergi. Itu akan terjadi dari kita, tidak peduli usia muda atau tua, tak
peduli kaya atau miskin. Kita manusia adalah satu tubuh, yang sama-sama akan
merasakan itu semua.”
“Nikmati proses, perbanyak rasa syukur. Apa kamu dapatnya akan merasa
cukup. Selalu rendah hati, dan tolong menolong.”
~TAMAT~